/*Lazyload Gambar Artikel*/

IJTIHAD SEBAGAI UPAYA MEMAHAMI QURAN HADIS

Daftar isi [Buka]

 

ijtihad

Assalamu'alaikum wr.wb

Alhamdulillah kita bisa berjumpa lagi di sini. Semoga kita selalu dalam keadaan sehat wa afiyat. Aamiin

Sebelumnya kita sudah belajar tentang dua sumber hukum Islam, yakni : Al-Qur'an dan Hadis. Kali ini, kita akan belajar bersama tentang sumber hukum ke-3, yakni IJTIHAD. Simak terus agar kita sama-sama memahaminya.


A.  Pengertian Ijtihad

Kata ijtihād berasal bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihādan yang berarti mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihād adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihād dinamakan mujtahid.


B.  Syarat-Syarat berijtihād

Karena ijtihād sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihād antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihād dan menghasilkan hukum yang tepat.

Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihād :
  1. Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
  2. Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh (sejarah). 
  3. Memahami cara merumuskan hukum (istinbaţ). 
  4. Memiliki keluhuran akhlak mulia.

C.  Kedudukan Ijtihād

Ijtihād memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’ān dan hadis. Ijtihād dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihād tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’ān maupun hadis. 

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., yang artinya : “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’ān).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihādu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)

Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa seseorang yang berijtihād sesuai dengan kemampuan dan ilmunya, kemudian ijtihādnya itu benar, maka ia mendapatkan dua pahala, Jika kemudian ijtihādnya itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.

Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis:
Artinya: “Dari Amr bin Aśh, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihād dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihādnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihād, kemudian ijtihādnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)


D. Bentuk-Bentuk Ijtihād

Ijtihād sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.

1) Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihād dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Contoh ijma’ di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaran-lembaran terpisah menjadi sebuah mushhaf al-Qur’ān yang seperti kita saksikan sekarang ini.

2) Qiyas

Qiyas adalah mempersamakan/ menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. 

Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka, dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr, yaitu memabukkan. 

Khamr dalam al-Qur’ān diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt: Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Q.S. al-Maidah/5:90)

3.  Maślaĥah Mursalah

Maślaḥah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at Islam. Misalkan, seseorang wajib mengganti atau membayar kerugian atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah ditetapkan.


E.  Pembagian Hukum Islam

Para ulama membagi hukum Islam ke dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi adalah tuntunan Allah Swt. yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Hukum wad’i adalah perintah Allah Swt. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.

Hukum taklifi terbagi ke dalam lima bagian, yaitu sebagai berikut :
  1. Wajib (farḍu), yaitu aturan Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan berakibat dosa. Pahala adalah sesuatu yang akan membawa seseorang kepada kenikmatan (surga), sedangkan dosa adalah sesuatu yang akan membawa seseorang ke dalam kesengsaraan (neraka). Misalnya, perintah wajib śalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.
  2. Sunnah (mandub), yaitu tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya ibadah śalat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya.
  3. Haram (taḥrim), yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesinya adalah jika larangan tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan akan mendapatkan dosa dan hukuman. Akibat yang ditimbulkan dari mengerjakan larangan Allah Swt. ini dapat langsung mendapat hukuman di dunia, ada pula yang dibalasnya di akhirat kelak. Misalnya larangan meminum minuman keras/ narkoba/ khamr, larangan berzina, larangan berjudi, dan sebagainya.
  4. Makruh (Karahah), yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi hukum ini adalah jika dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Misalnya, mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap karena zatnya atau sifatnya
  5. Mubaḥ (al-Ibaḥaḥ), yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala jika dikerjakan ataupun ditinggalkan. Misalnya makan roti, minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya

F.  Penerapan akhlak mulia

Perilaku mulia dari pemahaman terhadap al-Qur’ān, hadis, dan ijtihād sebagai sumber hukum Islam tergambar dalam aktivitas sebagai berikut. 

  1. Gemar membaca dan mempelajari al-Qur’ān dan hadis baik ketika sedang sibuk ataupun santai. 
  2. erusaha sekuat tenaga untuk merealisasikan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan hadis. 
  3. Selalu mengkonfirmasi segala persoalan yang dihadapi dengan merujuk kepada al-Qur’ān dan hadis, baik dengan mempelajari sendiri atau bertanya kepada yang ahli di bidangnya.
  4. Mencintai orang-orang yang senantiasa berusaha mempelajari dan meng­ amalkan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.
  5. Kritis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi dengan terus-menerus berupaya agar tidak keluar dari ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.
  6. Membiasakan diri berpikir secara rasional dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’ān dan hadis.
  7. Aktif bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang dianggap memiliki keahlian agama dan berakhlak mulia.
  8. Berhati-hati dalam bertindak dan melaksanakan sesuatu, apakah hal tersebut boleh dikerjakan ataukah hal tersebut boleh ditinggalkan.
  9. Selalu berusaha keras untuk mengerjakan segala kewajiban serta meninggalkan dan menjauhi segala larangan.
  10. Membiasakan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah sebagai upaya untuk menyempurnakan ibadah wajib karena khawatir belum sempurna.

Demikianlah penjelasan sekelumit tentang kedudukan ijtihad terhadap syariat Islam


Ditulis Oleh : Admin | My Haka Blog

Terima kasih Anda telah membaca artikel yang berjudul IJTIHAD SEBAGAI UPAYA MEMAHAMI QURAN HADIS, Semoga artikel ini dapat bermanfaat dan berguna untuk Anda. Kritik dan saran silahkan kirim melalui kotak komentar di bawah ini. Jangan lupa share jika dirasa bermanfaat ....

:: Thank you for visiting ! ::

Tampilkan Komentar
Sembunyikan Komentar

0 Response to "IJTIHAD SEBAGAI UPAYA MEMAHAMI QURAN HADIS"

Post a Comment

Budayakan komentar yang santun yah Gaes

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2